Sabtu, 05 April 2014

Musyarakah Siyasiyyah


            Ikhwa fillah, yang dimaksud dengan musyarakah siyasiyyah adalah keterlibatan jamaah dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kemaslahatan umum di lembaga- lembaga politik formal maupun informal, di tingkat nasional atau daerah beserta seluruh aktivitas yang mengikutinya seperti pemilihan umum, koalisi, dan aktivitas politik lainnya1.
            Diantara tuntutan syumuliyyatud da’wah adalah keterlibatan dan kehadiran kita dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama memasuki kancah pengambilan keputusan.
            Ikhwah fillah, manfaat yang kita ingingkan dari keberadaan ikhwah di lembaga-lembaga kenegaraan adalah mampu menyuarakan dakwah di sana dengan meminimalisir keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam dan memperbesar peluang diberlakukannya keputusan yang lebih memudahkan dakwah Islam untuk semakin kuat dan tersebar. Syaikh Abdurrahman As-Sa’adi dalam tafsirnya berkata:

Allah swt membela  orang-orang yang beriman dengan berbagai cara, ada yang mereka ketahui da nada pula yang tidak mereka ketahui. Diantaranya adalah factor kabilah (kesamaan suku antara da’I dengan ummat) seperti yang dialami oleh Nabi Syuaib as. Ikatan-ikatan yang dapat membantu membela Islam dan kaum muslimin seperti ini boleh diusahakan bahkan dalam keadaan tertentu menjadi wajib diwujudkan, karena ishlah (perbaikan) itu wajib dilakukan sesuai kemampuan dan kemungkinan. Oleh karena itu upaya ummat Islam yang berada di Negara atau wilayah kafir kemudian berusaha mengubah keadaan Negara itu menjadi republic yang demokratis sehingga masyarakat bias menikmati kebebasan beragama dan hak-hak sipilnya, semua usaha itu adalah lebih baik daripada berdiam diri menyerahkan pengambilan keputusan ini kepada orang kafir semuanya. Memang jika semua urusan berada di tangan ummat Islam itu adalah semestinya, namun jika tidak bias, maka yang bias kita lakukan harus kita lakukan untuk melindungi agama dan dunia2.
            Ikhwa fillah, asas utama musyarakah siyasiyyah adalah tashilul masasih  dan taqlilul mafasid (meraih maslahat dan mengurangi mafsadat). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan kesempurnaannya, menghilangkan dan meminimalisir kerusakan. Syariat lebih mengutamakan dan menguatkan kebaikan yang lebih besar diantara dua kebaikan (jika harus memilih salah satunya) dan mendukng keburukan yang lebih ringan diantara dua keburukan (jika harus memilih salah satunya), lalu memilih dan mengambil yang paling maslahat dengan menabaikan yang lebih rendah, dan menghilangkan yang lebih besar mudharatnya dengan menanggung resiko yang lebih rendah dan ringan…
            Selanjutnya beliau juga berkata:
            Dari sisi inilah Yusuf as menjabat perbendaharaan Mesir bahkan memintanya kepada raja Mesir agar menjadikannya pemegagng perbendaharaan bumi. Sementara raja dan kaumnya dalam keadaan kafir, sebagaimana firman Allah, SWT;
“Sungguh telah dating kepada kalian Yusuf, sebelumnya dengan keterangan yang nyata, dan kalian senantiasa dalam keraguan terhadap apa yang ia bawa”. (Ghafir 40: 34 )
“Wahai kedua penghuni penjara, apakah tuhan-tuhan yang berpecah belah, lebih baik dari Allah yang Maha Esa dan kuat?, apa yang kalian sembah selain Allah tidak lain kecuali nama-nama yang kalian dan nenek moyagn kalian namakan”. (Yusuf 12: 39-40)
Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada mereka, mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam memungut dan mendistribusikan harta kepada raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya. Tentunya cara itu tidak seusai dengan ketentuan bagi para nabi dan utusan Allah. Namun bagi Nabi Yusuf as tidak memungkinkan untuk menerapkan apa yang ia inginkan berupa ajaran Allah, karena rakyat tidak menghendaki hal itu, berupa keadilan dan perbuatan baik. Dengan kekuasaan itu, ia dapat memuliakan orang-orang yang beriman diantara keluarganya, hal yang tidak akan mungkin dia dapatkan tanpa kekuasaan itu. Semua ini masuk dalam firman Allah “Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuanmu” (At-Taghabun 64:16).3
Dalam Siyasah Syar’iyyah-nya, Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menegaskan prinsip muwazanah antara maslahat dengan mudharat ini seraya berkata:
            “Berkumpulnya kekuatan dan amanah sekaligus pada diri sesorang sangat jarang ditemukan, oleh karenanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengadu kepada Allah swt:
Ya Allah, aku mengaduk kepada-Mu tentang kekuatan orang yang berdosa dan kelemahan orang yang terpercaya
Maka yang wajib ditempatkan untuk setiap jabatan adalah yang paling besar maslahatnya sesuai jabatan itu sendiri. Bila hanya ada dua pilhan untuk sebuah jabatan, dimana yang satu lebih amanah dan yang lain lebih kuat, maka yang didahulukan adalah yang lebih bermanfaat dan lebih sedikit mudharatnya untuk jabatan itu. Untuk jabatan tempur, lebih diutamakan laki-laki yang lebih kuat meskipun pada dirinya ada kemaksiatan daripada laki-laki yang lemah meskipun lebih shalih. Hal ini seperti ungkapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah ketika ditanya tentang dua calon pemimpin perang yang satu kuat tapi pendosa sedangkan yang lain shalih tapi lemah. Jawaban Imam Ahmad: “Orang yang pendosa, kekuatannya akan bermanfaat bagi ummat Islam dan dosa-dosanya untuk dirinya sendiri, sedangkan orang shalih yang lemah, keshalihanya untuk dirinya sendiri dan kelemahannya merugikan kaum muslimin.” Rasulullah bersabda:
Dan sesungguhnya Allah swt akan menguatkan agama ini dengan laki-laki pendosa. (HR. Bukhari).4
Oleh karena itu pula Rasulullah saw mengangkat Khalid bin Walid sebagai pemimpin perang sejak ia masuk Islam dan beliau berkata bahwa Khalid adalah pedang yang dihunuskan Allah kepada orang-orang musyrik, meskipun terkadang Khalid melakukan perbuatan yang diingkari oleh Rasulullah saw, sehingga Rasulullah pernah mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa: “Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang telah dilakukan Khalid.” Yaitu ketika Rasulullah saw mengutus Khalid ke suku Judzaimah lalu Khalid membunuh mereka dan mengambil harta mereka dengan alas an yang mengandung syubhat, padahal itu tidak diperbolehkan. Begitu pula para sahabat yang bersama Khalid telah meingngkarinya…
Sementara itu Abu Dzar Al-Ghifari radiyallahu ‘anhu lebih baik dari Khalid dalam amanah dan kejujuran, meskipun begitu Rasulullah saw berkata kepada Abu Dzar: “Wahai Abu Dzar, aku melihatmu sebagai orang yang lemah, aku menginginkan untukmu apa yang kuinginkan untuk diriku. Jangan engkau memimpin dua orang dan jangan mengurusi harta anak yatim.” (HR. Muslim). Rasulullah saw melarang Abu Dzar untuk memimpin dan menjabat jabatan karena beliau menilainya lemah padahal Rasulullah saw pernah bersabda: Tidak ada di dunia ini yang lebih jujur ungkapannya selain Abu Dzar.
Rasulullah saw juga mengangkat ‘Amr bin ‘Ash radiyallahu ‘anhu pada perang Dzatus Salasil untuk melembutkan hati kerabatnya karena Rasulullah saw mengutus ‘Amr bi ‘Ash kepada mereka padahal ada yang lebih baik keimanannya dari ‘Amr bin ‘Ash. Rasulullah saw juga mengangkat Usamah bin Zaid sebagai pemimpin pasukan untuk dapat membalas gugurnya sang ayah (Zaid bin Haritsah). Jadi, Rasulullah saw mengangkat seseorang dengan pertimbangan maslahat tertentu meskipun ada yang lebih baik dari orang tersebut keilmuan dan keimanannya. Demikian Ibnu Taimiyah.5
                Salah seorang ulama Saudi Arabia, Dr. Nashir bin Sulaiman Al-Umar dalam salah satu fatwanya mengatakan:
             “Ketahuilah bahwa hokum asalh musyarakah adalah al-jawaz (boleh). Salah satu yang bias kita jadikan pertimbangan hokum tentang bolehnya musyarakah ini adalah dibolehkannya jihad (perang) bersama pemimpin yang fajir tidak akan lepas dari kerusakan yang pasti. Namun kerusakan ini menjadi lebih kecil nilainya jika dibandingkan dengan besrnya maslahat berjihad. Dan kerusakan yang timbul dari tidak berjihad bersamanya jauh lebih besar dari kerusakan yang timbul dari berjihad bersamanya.”6
            Dalam situasi seperti diatas hokum asal yang mubah (boleh) dapat berubah menjadi sunnah bahkan wajib jika maslahatnya jelas-jelas nyata dan wajib diwujudkan atau jika ditinggalkan mengakibatkan mudharat yang amat banyak.
            Musyarakah siyasiyyah juga membuka peluang bagi ikhwah untuk mengetahui dan mengakses informasi penting terkait maslahat harakah dan dakwah baik informasi amniyah, politik, ekonomi, social kemasyarakatan dan lain-lain. Sesuatu yang amat sulit kita peroleh tanpa musyarakah. Musyarakah siyasiyyah juga bermanfaat sebagai ajang menimba pengalaman memipin Negara, berdialog dengan berbagai pihak dalam institusi Negara, dan melakukan pelayanan public dalam skala yang lebih besar.
            Ikhwah fillah, kita mengambil pilihan musyarakah siyasiyyah yang merupakan al-khiyar al-ashwab (pilihan yang paling tepat) meskipun kita menyadari bahwa ia juga merupakan a-khiyar al-ash’ab (pilihan yang sulit), karena musyarakah berarti pilihan iqtihalul ‘aqabah (menempuh jalan terjal mendaki), at-tadafu’ al-yaumi (pertarungan harian), pilihan merealisasikan kebersihan dan istiqamah di tengah berbagai penyimpangan dan kekotoran, dan pilihan mempengaruhi secara bertahap tanpa larut dalam penyimpangan tersebut.
            Apabila terjadi kasus-kasus penyimpangan pada personil dalam musyarakah siyasiyya maka penyimpangan itu adalah bukti kelemahan personil tersebut. Sementara penilaian baik atau buruknya pelaksanaan musyarakah haruslah dilihat dari capaian hasil secara keseluruhan dengan menggunakan timbangan maslahat dan mudharat yang menyeluruh dari berbagai sudut pandang. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Ar-Raisuni, tokoh Harakah Tauhid wal Ishlah di Maroko:
            “Penyimpangan personil merupakan bukti kelemahan orang yang bersangkutan, namun bukan berarti tidak ada lagi diantara ummat ini yang akan berhasil dalam musyarakah. Orang-orang baik jangan hanya berpikir tentang dua kemungkinan dalam musyarakah: gagal lalu keluar atau larut dalam penyimpangan. Di dalam ummat dan jamaah ini pasti ada tambang berharga yang mampu berhasil dalam musyarakah. Kita melakukan ta’awun dalam shaf yang solid dan kokoh dalam rangka terus mewujudkan keberhasilan musyarakah ini.”7
            Ikhwah fillah, tentunya kita sepakat bahwa tarbiyah yang baik adalah syarat keberhasilan segala aktivitas dakwah,  karena tarbiyah adalah munthalaq dan asa kebaikan serta perubahan yang kita inginkan dalam perjuangan ini. Oleh karenanya kader yang terlibat dalam musyarakah siyasiyyah haruslah memiliki kualifikasi tarbawi yang baik sesuai kebutuhan jabatan public yang ia emban. Disamping itu kita juga harus bersama-sama berusaha mewujudkan mashlahat musyarakah itu dan terus mengawalnya, terutama di bidang tarbiyah nukhbawiyyah (pangkaderan) maupu tarbiyah jamariyyah (perbaikan masyarakat secara umum). Pencapaian kemenangan politik dalam musyarakah siyasiyyah hanyalah sarana dakwah guna mewujudkan tujuan utamanya yakni tahqiqul lillahi wahdah (mewudujkan penghambaan hanya kepada Allah semata) dalam naungan keadilan Islam. Apabila tujuan utama dakwah ini terlupakan, lalu sarana menjadi tujuan, saat itulah penyimpangan terjadi – semoga Allah menjaga kita.
Diambil dari buku “Seri Taujihat Pekanan Kader PKS”
Catatan Kaki:
  1. Fatwa Mujarma Fuwaha Syariah di Amerika dalam mu’tamarnya yang ke-4 di Kairo Mesir 28 Juli s/d 2 Agustus 2006 dengan sedikit perubahan.
  2. Tafsir As-Sa’di hal 345 ketika menafsirkan surat Hud ayat 91.
  3. Majmu’Fatwa 4/241.
  4. Potongan hadits riwayat Bukhari dalam shahinya Bab “Sesungguhnya Allah akan membantu agama ini dengan laki-laki pendosa” no 2834.
  5. Siyasah syar’iyyah, pasal tentang “Sedikitnya sifat amanah dan kekuatan berkumpul pada seseorang”.
  6. http:///www.islamtoday.net/islamion/f05.html.
  7. www.raissouni.org/Docs/155200710648AM.doc

0 komentar:

Posting Komentar