Ikhwa
fillah, yang dimaksud dengan musyarakah siyasiyyah adalah keterlibatan jamaah
dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kemaslahatan umum di lembaga-
lembaga politik formal maupun informal, di tingkat nasional atau daerah beserta
seluruh aktivitas yang mengikutinya seperti pemilihan umum, koalisi, dan
aktivitas politik lainnya1.
Diantara
tuntutan syumuliyyatud da’wah adalah keterlibatan dan kehadiran kita dalam
seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama memasuki kancah pengambilan keputusan.
Ikhwah
fillah, manfaat yang kita ingingkan dari keberadaan ikhwah di lembaga-lembaga
kenegaraan adalah mampu menyuarakan dakwah di sana dengan meminimalisir
keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam dan memperbesar
peluang diberlakukannya keputusan yang lebih memudahkan dakwah Islam untuk
semakin kuat dan tersebar. Syaikh Abdurrahman As-Sa’adi dalam tafsirnya
berkata:
Allah swt membela
orang-orang yang beriman dengan berbagai cara, ada yang mereka ketahui da
nada pula yang tidak mereka ketahui. Diantaranya adalah factor kabilah (kesamaan
suku antara da’I dengan ummat) seperti yang dialami oleh Nabi Syuaib as.
Ikatan-ikatan yang dapat membantu membela Islam dan kaum muslimin seperti ini boleh
diusahakan bahkan dalam keadaan tertentu menjadi wajib diwujudkan, karena
ishlah (perbaikan) itu wajib dilakukan sesuai kemampuan dan kemungkinan. Oleh
karena itu upaya ummat Islam yang berada di Negara atau wilayah kafir kemudian
berusaha mengubah keadaan Negara itu menjadi republic yang demokratis sehingga
masyarakat bias menikmati kebebasan beragama dan hak-hak sipilnya, semua usaha
itu adalah lebih baik daripada berdiam diri menyerahkan pengambilan keputusan
ini kepada orang kafir semuanya. Memang jika semua urusan berada di tangan
ummat Islam itu adalah semestinya, namun jika tidak bias, maka yang bias kita
lakukan harus kita lakukan untuk melindungi agama dan dunia2.
Ikhwa fillah, asas utama musyarakah siyasiyyah adalah tashilul masasih dan taqlilul
mafasid (meraih maslahat dan mengurangi mafsadat). Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata:
Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan
kesempurnaannya, menghilangkan dan meminimalisir kerusakan. Syariat lebih
mengutamakan dan menguatkan kebaikan yang lebih besar diantara dua kebaikan (jika
harus memilih salah satunya) dan mendukng keburukan yang lebih ringan diantara
dua keburukan (jika harus memilih salah satunya), lalu memilih dan mengambil
yang paling maslahat dengan menabaikan yang lebih rendah, dan menghilangkan
yang lebih besar mudharatnya dengan menanggung resiko yang lebih rendah dan
ringan…
Selanjutnya beliau juga berkata:
Dari sisi inilah Yusuf as menjabat perbendaharaan Mesir
bahkan memintanya kepada raja Mesir agar menjadikannya pemegagng perbendaharaan
bumi. Sementara raja dan kaumnya dalam keadaan kafir, sebagaimana firman Allah,
SWT;
“Sungguh telah dating kepada kalian Yusuf, sebelumnya
dengan keterangan yang nyata, dan kalian senantiasa dalam keraguan terhadap apa
yang ia bawa”. (Ghafir 40: 34 )
“Wahai kedua penghuni penjara, apakah tuhan-tuhan yang
berpecah belah, lebih baik dari Allah yang Maha Esa dan kuat?, apa yang kalian sembah
selain Allah tidak lain kecuali nama-nama yang kalian dan nenek moyagn kalian
namakan”. (Yusuf 12: 39-40)
Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada
mereka, mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam memungut
dan mendistribusikan harta kepada raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya.
Tentunya cara itu tidak seusai dengan ketentuan bagi para nabi dan utusan
Allah. Namun bagi Nabi Yusuf as tidak memungkinkan untuk menerapkan apa yang ia
inginkan berupa ajaran Allah, karena rakyat tidak menghendaki hal itu, berupa
keadilan dan perbuatan baik. Dengan kekuasaan itu, ia dapat memuliakan
orang-orang yang beriman diantara keluarganya, hal yang tidak akan mungkin dia
dapatkan tanpa kekuasaan itu. Semua ini masuk dalam firman Allah “Bertakwalah
kepada Allah sesuai kemampuanmu” (At-Taghabun 64:16).3
Dalam Siyasah Syar’iyyah-nya,
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menegaskan prinsip muwazanah antara maslahat
dengan mudharat ini seraya berkata:
“Berkumpulnya kekuatan dan amanah sekaligus pada diri sesorang
sangat jarang ditemukan, oleh karenanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
mengadu kepada Allah swt:
Ya Allah, aku mengaduk kepada-Mu tentang kekuatan orang
yang berdosa dan kelemahan orang yang terpercaya
Maka yang wajib ditempatkan untuk setiap jabatan adalah
yang paling besar maslahatnya sesuai jabatan itu sendiri. Bila hanya ada dua
pilhan untuk sebuah jabatan, dimana yang satu lebih amanah dan yang lain lebih
kuat, maka yang didahulukan adalah yang lebih bermanfaat dan lebih sedikit
mudharatnya untuk jabatan itu. Untuk jabatan tempur, lebih diutamakan laki-laki
yang lebih kuat meskipun pada dirinya ada kemaksiatan daripada laki-laki yang
lemah meskipun lebih shalih. Hal ini seperti ungkapan Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah ketika ditanya tentang dua calon pemimpin perang yang satu kuat
tapi pendosa sedangkan yang lain shalih tapi lemah. Jawaban Imam Ahmad: “Orang
yang pendosa, kekuatannya akan bermanfaat bagi ummat Islam dan dosa-dosanya
untuk dirinya sendiri, sedangkan orang shalih yang lemah, keshalihanya untuk
dirinya sendiri dan kelemahannya merugikan kaum muslimin.” Rasulullah bersabda:
Dan sesungguhnya Allah swt akan menguatkan agama ini
dengan laki-laki pendosa. (HR. Bukhari).4
Oleh karena itu pula Rasulullah saw mengangkat Khalid bin
Walid sebagai pemimpin perang sejak ia masuk Islam dan beliau berkata bahwa
Khalid adalah pedang yang dihunuskan Allah kepada orang-orang musyrik, meskipun
terkadang Khalid melakukan perbuatan yang diingkari oleh Rasulullah saw,
sehingga Rasulullah pernah mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa: “Ya
Allah, aku berlepas diri dari apa yang telah dilakukan Khalid.” Yaitu ketika Rasulullah
saw mengutus Khalid ke suku Judzaimah lalu Khalid membunuh mereka dan mengambil
harta mereka dengan alas an yang mengandung syubhat, padahal itu tidak
diperbolehkan. Begitu pula para sahabat yang bersama Khalid telah
meingngkarinya…
Sementara itu Abu Dzar Al-Ghifari radiyallahu ‘anhu lebih
baik dari Khalid dalam amanah dan kejujuran, meskipun begitu Rasulullah saw
berkata kepada Abu Dzar: “Wahai Abu Dzar, aku melihatmu sebagai orang yang
lemah, aku menginginkan untukmu apa yang kuinginkan untuk diriku. Jangan engkau
memimpin dua orang dan jangan mengurusi harta anak yatim.” (HR. Muslim).
Rasulullah saw melarang Abu Dzar untuk memimpin dan menjabat jabatan karena
beliau menilainya lemah padahal Rasulullah saw pernah bersabda: Tidak ada di
dunia ini yang lebih jujur ungkapannya selain Abu Dzar.
Rasulullah saw juga mengangkat ‘Amr bin ‘Ash radiyallahu ‘anhu
pada perang Dzatus Salasil untuk melembutkan hati kerabatnya karena Rasulullah
saw mengutus ‘Amr bi ‘Ash kepada mereka padahal ada yang lebih baik keimanannya
dari ‘Amr bin ‘Ash. Rasulullah saw juga mengangkat Usamah bin Zaid sebagai
pemimpin pasukan untuk dapat membalas gugurnya sang ayah (Zaid bin Haritsah).
Jadi, Rasulullah saw mengangkat seseorang dengan pertimbangan maslahat tertentu
meskipun ada yang lebih baik dari orang tersebut keilmuan dan keimanannya.
Demikian Ibnu Taimiyah.5
Salah seorang ulama Saudi Arabia, Dr.
Nashir bin Sulaiman Al-Umar dalam salah satu fatwanya mengatakan:
“Ketahuilah
bahwa hokum asalh musyarakah adalah al-jawaz
(boleh). Salah satu yang bias kita
jadikan pertimbangan hokum tentang bolehnya musyarakah ini adalah dibolehkannya
jihad (perang) bersama pemimpin yang fajir tidak akan lepas dari kerusakan yang
pasti. Namun kerusakan ini menjadi lebih kecil nilainya jika dibandingkan
dengan besrnya maslahat berjihad. Dan kerusakan yang timbul dari tidak berjihad
bersamanya jauh lebih besar dari kerusakan yang timbul dari berjihad bersamanya.”6
Dalam situasi seperti diatas hokum asal
yang mubah (boleh) dapat berubah menjadi sunnah bahkan wajib jika maslahatnya
jelas-jelas nyata dan wajib diwujudkan atau jika ditinggalkan mengakibatkan
mudharat yang amat banyak.
Musyarakah siyasiyyah juga membuka peluang bagi ikhwah
untuk mengetahui dan mengakses informasi penting terkait maslahat harakah dan
dakwah baik informasi amniyah, politik, ekonomi, social kemasyarakatan dan
lain-lain. Sesuatu yang amat sulit kita peroleh tanpa musyarakah. Musyarakah
siyasiyyah juga bermanfaat sebagai ajang menimba pengalaman memipin Negara,
berdialog dengan berbagai pihak dalam institusi Negara, dan melakukan pelayanan
public dalam skala yang lebih besar.
Ikhwah fillah, kita mengambil pilihan musyarakah
siyasiyyah yang merupakan al-khiyar
al-ashwab (pilihan yang paling tepat) meskipun kita menyadari bahwa ia juga
merupakan a-khiyar al-ash’ab (pilihan
yang sulit), karena musyarakah berarti pilihan iqtihalul ‘aqabah (menempuh jalan terjal mendaki), at-tadafu’ al-yaumi (pertarungan harian),
pilihan merealisasikan kebersihan dan istiqamah di tengah berbagai penyimpangan
dan kekotoran, dan pilihan mempengaruhi secara bertahap tanpa larut dalam
penyimpangan tersebut.
Apabila terjadi kasus-kasus penyimpangan pada personil
dalam musyarakah siyasiyya maka penyimpangan itu adalah bukti kelemahan
personil tersebut. Sementara penilaian baik atau buruknya pelaksanaan
musyarakah haruslah dilihat dari capaian hasil secara keseluruhan dengan
menggunakan timbangan maslahat dan mudharat yang menyeluruh dari berbagai sudut
pandang. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Ar-Raisuni, tokoh
Harakah Tauhid wal Ishlah di Maroko:
“Penyimpangan
personil merupakan bukti kelemahan orang yang bersangkutan, namun bukan berarti
tidak ada lagi diantara ummat ini yang akan berhasil dalam musyarakah.
Orang-orang baik jangan hanya berpikir tentang dua kemungkinan dalam
musyarakah: gagal lalu keluar atau larut
dalam penyimpangan. Di dalam ummat dan jamaah ini pasti ada tambang
berharga yang mampu berhasil dalam musyarakah. Kita melakukan ta’awun dalam
shaf yang solid dan kokoh dalam rangka terus mewujudkan keberhasilan musyarakah
ini.”7
Ikhwah fillah, tentunya kita sepakat bahwa tarbiyah yang
baik adalah syarat keberhasilan segala aktivitas dakwah, karena tarbiyah adalah munthalaq dan asa
kebaikan serta perubahan yang kita inginkan dalam perjuangan ini. Oleh
karenanya kader yang terlibat dalam musyarakah siyasiyyah haruslah memiliki
kualifikasi tarbawi yang baik sesuai kebutuhan jabatan public yang ia emban.
Disamping itu kita juga harus bersama-sama berusaha mewujudkan mashlahat
musyarakah itu dan terus mengawalnya, terutama di bidang tarbiyah nukhbawiyyah
(pangkaderan) maupu tarbiyah jamariyyah (perbaikan masyarakat secara umum).
Pencapaian kemenangan politik dalam musyarakah siyasiyyah hanyalah sarana
dakwah guna mewujudkan tujuan utamanya yakni tahqiqul lillahi wahdah (mewudujkan penghambaan hanya kepada Allah
semata) dalam naungan keadilan Islam. Apabila tujuan utama dakwah ini
terlupakan, lalu sarana menjadi tujuan, saat itulah penyimpangan terjadi –
semoga Allah menjaga kita.
Diambil dari buku “Seri
Taujihat Pekanan Kader PKS”
Catatan Kaki:
- Fatwa Mujarma Fuwaha Syariah di Amerika dalam mu’tamarnya yang ke-4 di Kairo Mesir 28 Juli s/d 2 Agustus 2006 dengan sedikit perubahan.
- Tafsir As-Sa’di hal 345 ketika menafsirkan surat Hud ayat 91.
- Majmu’Fatwa 4/241.
- Potongan hadits riwayat Bukhari dalam shahinya Bab “Sesungguhnya Allah akan membantu agama ini dengan laki-laki pendosa” no 2834.
- Siyasah syar’iyyah, pasal tentang “Sedikitnya sifat amanah dan kekuatan berkumpul pada seseorang”.
- http:///www.islamtoday.net/islamion/f05.html.
- www.raissouni.org/Docs/155200710648AM.doc
0 komentar:
Posting Komentar